
Fakta: Warga Keturunan Tionghoa Tidak Boleh Memiliki Aset di Yogyakarta
Beredar unggahan di media sosial tiktok yang menarasikan bahwa keturunan Tionghoa tidak boleh memiliki aset di Daerah Istimewa Yogyakarta. Narator menyebutkan kejadian tersebut berawal pada 1948 saat mempertahankan kemerdekaan NKRI, etnis Tionghoa saat itu mendukung Belanda. Sejak saat itu Sultan Hamengkubuwono ke-9 mencabut hak atas kepemilikan aset tanah properti milik kepada orang-orang Tionghoa. Berdasarkan hasil penelusuran, informasi tersebut adalah fakta. Melansir Suara Merdeka, Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1948, saat Agresi Militer II Belanda, etnis Tionghoa di Yogyakarta dinilai berpihak dan memberikan dukungan kepada Belanda. Akibat tindakan tersebut, Sultan HB IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah bagi etnis Tionghoa di Yogyakarta. Namun, Sultan HB IX tetap mempersilakan warga keturunan Tionghoa untuk tetap tinggal di Yogyakarta, dengan syarat mereka tidak memiliki hak milik atas tanah, tapi bisa memiliki hak guna bangunan. Aturan ini masih berlaku hingga saat ini sebagai bagian dari keistimewaan DIY. Dalam berita detik.com, kepemilikan hak tanah tidak hanya ada warga keturunan Tionghoa, tapi warga non pribumi. Sebagai penegasan, pada tahun 1975, Paku Alam VIII menerbitkan surat perintah kepada bupati dan walikota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara non-pribumi, yang tertuang dalam Surat Intruksi Wakil Kepala Daerah DIY (Wakil Gubernur) No. K.898/i/A/1975.